Legenda puteri tujuh mungkin sudah tidak asing lagi bagi warga Kota Dumai. Kalaupun ada yang belum tahu dengan legenda ini, disarankan untuk bertanya dan mencari tahu tentang sejarah penting nama kota tercinta ini. Nah, bagi yang belum pernah tahu, berikut kami ceritakan sejarah singkatnya, ya. 🙂
Alkisah, Ratu Cik Sima memerintah Kerajaan Seri Bunga Tanjung di sebuah pesisir Selat Malaka. Ia memiliki tujuh puteri yang elok rupawan. Mereka dikenal dengan Puteri Tujuh. Dari ketujuh puteri tersebut, puteri bungsulah yang paling cantik. Namanya Mayang Sari atau Mayang Mengurai.
Pada suatu hari, ketujuh puteri itu mandi di Lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersenda gurau, mereka tidak menyadari beberapa pasang mata sedang mengamati, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya. Sang Pangeran terpesona melihat kecantikan Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih, “Gadis cantik di Lubuk Umai…cantik di Umai. Ya…ya…d’umai…Dumai”. Kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, Sang Pangeran jatuh cinta.
Beberapa hari kemudian, Pangeran mengirim utusan untuk meminang puteri itu. Tepak sirih disodorkan. Pinangan itu pun disambut Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di kerajaan Seri Bunga Tanjung. Sebagai balasan, Ratu Cik Sima pun mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar diantara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa puteri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangan Pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada Pangeran. “Ampun Baginda Raja! Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Puteri Mayang Mengurai”. Mendengar laporan itu, Sang Raja pun naik pitam. Sang Raja pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Ditengah berkecamuknya perang, Ratu Cik Sima melarikan ketujuh puterinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan. Tak lupa pula Sang Ratu membekali ketujuh puterinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, ia kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai. Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya.
Akhirnya, Negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan. Melihat negerinya tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di Bukit Hulu Sungai Umai. Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat dihilir Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan. Secara tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan para pasukan Pangeran Empang Kuala lumpuh.
Ratu Cik Sima bergegas mendatangi tempat persembunyian ketujuh puterinya di dalam hutan. Alangkah terkejutnya dia, karena ketujuh puterinya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Mereka meninggal dunia karena haus dan lapar. Ternyata Ratu Cik Sima lupa kalau bekal yang disediakan hanya cukup untuk tiga bulan. Sedangkan perang antara Ratu Cik Sima dengan Pangeran Empang Kuala berlangsung sampai empat bulan. Akhirnya, karena tak kuat menahan kesedihan atas kematian ketujuh puterinya, Ratu Cik Sima pun jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Kisah ini meninggalkan satu kata yang kekal hingga hari ini, yaitu “Dumai”. Legendanya juga mewariskan satu kuburan yang dikenal dengan Makam Puteri Tujuh.
D’UMAI….DUMAI!
Sumber: Dumai Tourism Board